Situs Kendan di Nagreg: jadi TPS atau Pekuburan?
AKHIR-AKHIR
ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan)
sampah akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan
Kabupaten Garut, akan dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten
Bandung. Konon menurut beberapa calon pemborong (pelaksana)
projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan
bangunan pengolahan sampah secara modern.
Selain
itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks
pekuburan etnis Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan
Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan, lokasi Cikadut akan
dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan.
Benar
atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan
dari berbagai aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan
kepurbakalaannya. Terjadinya kasus pemusnahan Situs
Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu yang
lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa
Barat (Sunda), jangan sampai terulang kembali.
Ihwal
Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa
Silam Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya
diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di
masa silam.
Situs kepurbakalaan Kendan
Kendan
adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di
sebelah timur-laut stasiun kereta api Nagreg, sebelah
tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit ini
terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman, Kecamatan
Nagreg.
Kira-kira
200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs
kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin, tempat itu bekas kabuyutan.
Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan
sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum
Nasional di Jakarta.
Adanya
patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah
berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab
Dewi Durga, dipandang sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa.
Nama
Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu
diketahui, sebagai pusat industri perkakas neolitik.
Istilah "batu Kendan", sudah merupakan semacam tanda
paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.
Beberapa
abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi
adanya permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai
pada zamannya, dan menjadi pusat pembuatan perkakas, yang
diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.
Hasil
penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa
legenda Kendan masih dikenal. Dalam segala kekaburan
kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh Manikmaya, sebagai salah
seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat
ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya.
Nama
Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab
posisi kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti,
penulis naskah Carita Parahiyangan pun, memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.
Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan
Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sang
Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga
Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah
mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi
(Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau
Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.
Resiguru
Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman,
penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia
dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg
di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru
Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang
Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan
kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.
Semua
raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu
dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di
Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang
Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan
itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa
terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru
Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Penerus tahta Kerajaan Kendan
Dari
perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja
Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan
putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera
Suraliman.
Dalam
usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah
mahir ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi
Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima
Balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Resiguru
Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568
Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di
Kendan, sebagai penguasa baru. Penobatan Rajaputra
Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun
490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa
pemerintahannya, Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam
perang.
Dalam
perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu
keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang
Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak
sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama
Sang Kandiawati.
Sang
Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang.
Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari
Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya.
Sang
Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M).
Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu
telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana.
Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang
Jati.
Setelah
Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak
berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati
(Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah
karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah
Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi
candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait
dengan keagamaan masa silam Kendan.
Sebagai
penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia
punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan,
Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun.
Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli,
Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan,
lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Pendahulu Kerajaan Galuh
Sang
Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi,
ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi
pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia
menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu
sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang
Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada
tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam
itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit,
tepat di titik timur garis ekuator.
Sang
Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati,
tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru,
kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat
pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu,
yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di
desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten
Ciamis.
Sebagai
Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta
bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan
sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari
perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu
Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622
M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa
di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman
(561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang
Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.
Berturut-turut,
Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman
(628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman
(640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika
Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun
sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang
Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang
Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang
Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari
kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang
Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu
kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru,
menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat
tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda,
menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang
Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana.
Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas
Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam
keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya
Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya,
Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di
belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun
1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga
Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda
Pajajaran.
Oleh
karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan
sekitarnya dalam perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa
Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika diadakan penggalian
dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs
Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak,
tembikar, keramik, terakota, dan benda-benda peninggalan
sejarah lainnya.
Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg,
sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan ini, akan
menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita semua,
sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan
(penampungan) sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan
Tionghoa pindahan dari Cikadut Bandung.
Sumber : http://bambang-gene.blogspot.com
No comments:
Post a Comment