Situs-situs Tua Kuningan Dan Budaya Kaki Ciremai yang Sarat Pesan

Situs-situs Tua Kuningan
Budaya Kaki Ciremai yang Sarat Pesan

Kelurahan Cipari Kecamatan Cigugur adalah salah satu tempat ditemukannya peninggalan kebudayaan prasejarah di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Selain Cipari, ada paling sedikit delapan tempat di sekitar kaki gunung Ciremai yang terdapat peninggalan bercorak Megalitik, Klasik, Hindu-Buddha, dan kolonial Belanda.

Di Cipari sendiri ditemukan tiga peti kubur batu yang di dalamnya terdapat bekal kubur berupa kapak batu, gelang batu, dan gerabah. Bekal kubur ini masih tersimpan dalam bangunan museum. Di dalam peti tidak ditemukan kerangka manusia, karena tingkat keasaman dan kelembapan tanah yang terletak 661 meter dpl itu terbilang tinggi, sehingga tulang yang dikubur mudah hancur.

Area ditemukannya artefak-artefak batu dan gerabah masih tertata baik, juga tingkat kedalaman benda-benda itu terkubur masih orisinal. Peti kubur yang terbuat dari batu indesit besar berbentuk sirap masih tersusun di tempatnya semula. Mengarah ke timur laut barat daya yang menggambarkan konsep-konsep kekuasaan alam, seperti matahari dan bulan yang menjadi pedoman hidup dari lahir sampai meninggal.

Peti kubur batu yang ada situs purbakala Cipari ini memiliki kesamaan dengan fungsi peti-peti kubur batu di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Masyarakat Sulawesi Utara menyebut peti kubur batu sebagai waruga, masyarakat Bondowoso menyebutnya pandusa, dan masyarakat Samosir menyebutnya tundrum baho.

Ada pula tanah lapang berbentuk lingkaran dengan diameter enam meter dengan dibatasi susunan batu sirap, di tengah-tengahnya terdapat batu. Tempat yang bernama Batu Temu Gelang ini adalah lokasi upacara dalam hubungan dengan arwah nenek moyang serta berfungsi sebagai tempat musyawarah.

Di kawasan ini juga ada altar batu (punden berundak), yakni bangunan berundak-undak yang di bagian atasnya terdapat benda-benda megalit atau makam seseorang yang dianggap tokoh dan dikeramatkan. Altar ini berfungsi sebagai temapt upacara pemujaan arwah nenek moyang.

Di ketinggian tertentu terdapat pula menhir, yakni batu tegak kasar sebagai medium penghormatan sekaligus tempat pemujaan. Ada pula dolmen (batu meja) yang tersusun dari sebuah batu lebar yang ditopang beberapa batu lain sehingga berbentuk meja. Fungsi dolmen sebagai tempat pemujaan kepada arwah nenek moyang sekaligus tempat peletakan sesaji. Terdapat juga batu dakon (lumpang batu), yakni batu berlubang satu atau lebih, berfungsi sebagai tempat membuat ramuan obat-obatan.

Luas Situs Taman Purbakala Prasejarah Cipari 6.364 meter persegi. Artefak-artefak, yakni peti kubur batu, gerabah, gelang batu, beliung persegi, kapak perunggu, dan manik-manik ditemukan pada beberapa kali penggalian.Berdasar temuan itulah situs ini diduga berasal dari masa perundagian (paleometalik atau perunggu-besi) yang masih melanjutkan tradisi megalitik, sekitar tahun 1.000—500 SM. Saat itu masyarakat sudah mengenal cocok tanam dan organisasi yang baik.

Walaupun ditemukan artefak-artefak namun temuan ini tidak dapat menjelaskan siapa yang dikubur dalam tiga peti kubur batu itu dan bagaimana ciri-ciri fisiknya, selain diperkirakan tiga orang itu adalah pemuka masyarakat.

Situs Museum Taman Purbakala Cipari berada di lingkungan Kelurahan Cipari Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Terletak di daerah berbukit dengan ketinggian 661 meter dpl, di kaki gunung Ciremai bagian timur dan bagian barat kota Kuningan. Cipari berjarak 4 kilometer dari ibukota Kuningan dan 35 kilometer dari kota Cirebon.

Area ini sebelumnya adalah tanah milik Bapak Wijaya serta milik beberapa warga lainnya. Pada tahun 1971, Bapak Wijaya menemukan batuan yang setelah diteliti ternyata peti kubur batu, kapak batu, gelang batu, dan gerabah. Setelah diadakan penggalian percobaan dengan tujuan penyelamatan artefak tahun 1972, tiga tahun kemudian diadakan penggalian total. Setahun kemudian dibangun Situs Museum Taman Purbakala Cipari. Pada 23 Februari 1978 museum diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. DR. Syarif Thayeb.


Paseban Tri Panca Tunggal


Masih di Kecamatan Cigugur, tepatnya di Jalan Raya Cigugur No. 1031 Kuningan terdapat cagar budaya nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Gedung anggun bercat putih dengan deretan jendela besar sepanjang dindingnya.

Paseban Tri Panca Tunggal didirikan tahun 1860 oleh Kiai Madrais, nama yang dikenal luas oleh masyarakat Jawa Barat sebagai pemimpin aliran agama Djawa Sunda atau adat cara Karuhun Urang atau Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan terhadap ajaran leluhur masyarakat Sunda. Aliran penghayat yang tidak memeluk satu pun agama di Indonesia.

Di tempat inilah cucu Kiai Madrais, Djatikusumah, mukim bersama keluarganya (40 orang termasuk Emilia sang istri, delapan orang anak kandung, dan puluhan anak asuh), meneruskan ajaran leluhur. Sejak tahun 1970-an, Paseban Tri Panca Tunggal ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.

Setiap tahun, yakni tanggal 18 hingga 22 Rayagung menurut penanggalan Sunda, ratusan orang datang ke tempat ini merayakan rangkaian acara Seren Taun, ungkapan rasa syukur masyarakat agraris Sunda terhadap Gusti Yang Widi Wasa atas hasil panen.

Meski acara ini awalnya diadakan masyarakat penghayat agama Djawa Sunda namun semakin lama semakin beragam umat yang ikut merayakan, komunitas multiagama. Yang datang juga bukan hanya masyarakat Kuningan, namun ikut pula utusan masyarakat Baduy Kanekes Banten, Dayak Losarang Indramayu, Ciptagelar Sukabumi, Kampung Naga Tasikmalaya, Using, hingga perwakilan dari Aceh. Masyarakat penghayat di daerah Cigugur memang semakin lama semakin sedikit jumlahnya, sekarang malah menjadi golongan minoritas di antara penganut-penganut agama yang diakui negara.

Pada masa Orde Baru, upacara Seren Taun pernah dihentikan selama 17 tahun karena dianggap aliran sesat. Mulai tahun 1999 upacara ini mulai diadakan lagi. Seren Taun berikutnya diadakan 8—12 Januari 2007.

Kekhasan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal adalah pilar-pilar besar dengan hiasan naga dan awan pada bagian dasarnya, menyangga langit-langit yang terbuat dari kayu. Kompleks bangunannya terdiri dari beberapa bangunan dan ruang yang menghadap ke arah barat. Peletakan ini merupakan lambang perjalanan matahari, diartikan bahwa dalam pergelaran hidup ada lahir dan mati.

Bangunan inti Paseban terdiri dari Ruang Jinem, Pendopo Pagelaran, Sri Manganti (bagian depan padaleman), dan Dapur Ageung.

Ruang Jinem membujur arah utara-selatan. Pada masa dulu ruang ini dipakai sebagai tempat saresehan/ ceramah untuk memperdalam pengertian hidup dan kehidupan serta mengenal dan merasakan adanya cipta, rasa, dan karsa.

Di Ruang Pendopo dapat ditemui banyak perlambang ajaran Kiai Madrais, seperti relief bertuliskan aksara Sunda, Purwa Wisada, yang berarti cipta dan karsa adalah ketentuan sebagai hukum kodrati. Ada pula burung garuda di atas lingkaran yang ditunjang dua ekor naga yang saling terkait, melambangkan harus adanya pengertian antara pria dan wanita dalam menghadapi hidup.

Ruang Sri Manganti adalah sebagian dari ruangan Padaleman (ruang lebet) yang membujur dari utara ke selatan. Tempat ini digunakan untuk penyelenggaraan upacara-upacara pernikahan, untuk merundingkan masalah seperti persiapan upacara Seren Taun, dan memecahkan masalah-masalah keluarga.

Dalam ruangan ini pula ditempatkan Bale Kancana, yakni pelaminan khusus keluarga yang pada masa dulu sebagai palinggihan. Ruang padaleman berbentuk segi empat yang di tengahnya terdapat sebuah ruangan yang merupakan bangunan tersendiri. Bangunan tengah ini merupakan ruang tempat penyimpanan buku-buku sejarah dan keagamaan dari segala agama.

Dapur Ageung adalah tungku perapian terbuat dari semen yang di empat sudutnya terdapat naga bermahkota. Hal ini menggambarkan adanya perikemanusiaan (mahkota) mengatasi nafsu yang harus diarahkan dalam bimbingan kehalusan budi manusia.

Adanya Dapur Ageung seringkali dijadikan alasan pihak lain menuding bahwa Kiai Madrais dan pengikutnya sebagai orang-orang penyembah api dan bersembahyang di depan api. Padahal tudingan itu sama sekali tidak beralasan.

Dua kali seminggu di Paseban Tri Panca Tunggal diadakan pelatihan keterampilan menari, menembang, dan dongeng bagi siswa-siswi TK hingga SMA. Selain itu diajarkan pula pelajaran budi pekerti, hal mata pelajaran yang sudah bertahun-tahun dihilangkan dari kurikulum sekolah. Bagi ibu-ibu diajarkan membatik motif khas Cigugur, motif yang sudah lama terlupa.

Selain pada perayaan Seren Taun, pintu Paseban terbuka lebar bagi masyarakat yang ingin berkunjung. Baik itu sekadar melihat-lihat fisik gedung, memancing, belajar membatik, atau berdiskusi dengan Djatikusumah.

Keramahan Djatikusumah dan keluarga membuat perbincangan yang berjam-jam terasa singkat. Apalagi sambil ditemani suguhan kampung berupa labu rebus, ubi rebus, pisang goreng, serta secangkir kopi di tengah kesejukan angin Gunung Ciremai saat senja.


 
Sumber : ruyukcengal

No comments:

Post a Comment

Share
Facebook

Popular Posts