SEJARAH PANJALU
Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: petarung, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).
Nama
Panjalu mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan
Prabu Sanghyang Ranggagumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal
dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal.
Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang
memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau
Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan
adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya
terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di
bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik
(batu-batuan purba) peninggalan masa pra sejarah.
Kekuasaan Kabataraan (Tahta Suci)
Pendiri
kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di
Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka
kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah
Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh
Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri
Kerajaan Galuh.
Daerah
Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang
keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan
sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang
Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat penting
karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk
mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang
Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut
sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta
di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara
Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan
Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa
Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka.
Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang
dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).
Besar
kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu
kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara
Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang
pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati,
Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu
Sanghyang Rangagumilang, putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah
dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan.
Diperkirakan
kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Prabu Guru Aji
Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh
yang menjadi perintis Kerajaan Sumedan Larang. Prabu Guru Aji Putih
digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut
sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sejaman
dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350).
Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi
Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya
yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah
pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah
kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan
kabataraan kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi
cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah
putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari
Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara
Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu
Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh
puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan
oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan
sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.
Hubungan dengan Kemaharajaan SundaPanjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya Sang Harisdarma(723-732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut
Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi
Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah
itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang
menikahi Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu
melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan (Sunda) sebagai Prabu
Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Mayangsari puteri sulung Hyang
Bunisora (1357-1371), Niskala Watu Kancana berputera Ningrat Kancana
yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).
Lokasi
Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga
menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena
menurut Ekadjati (93:75) ada empat -kawasan yang pernah menjadi ibukota
Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan
lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon
Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh,
Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul,
Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten
Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga
memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar
yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede),
Tanggerang, Kalapa, dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao,
1944:196).
Kaitan
lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu
adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora
digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu
Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara
menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu
Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.
Sementara
itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni
dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya
Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan
diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.
No comments:
Post a Comment