SEJARAH SITU GEDE DAN EYANG PRABUDILAYA
SITU GEDE
1
Purnama
bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri
yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati
hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar
purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak
semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga
lingkungannya.
Namun di halaman
belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu
yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun
mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah
udaha, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor
bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap
tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan
bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh
ujuan terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang
raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan
menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari
ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.
Di
bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut
panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih
diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan
Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya
mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang
keriput.
“Cukup Raden!” tiba-tiba si Kakek berseru
Prabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah,
“Terimakasih, Eyang Guru”
“Sekarang duduklah, Raden”
Prabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannya
“Tenang, Raden”
Kakek
yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap
diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu,
terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri
tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada
senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian,
dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila,
tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum “
Lulus Raden”
Ketika ayam
berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah
bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman
hangat,
“ Raden, semua ilmu yang
kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya
dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum
cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama” kata
Eyang Guru sambil menatap muridnya”
“Saya
pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu
ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda
pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak
bijaksana”
Prabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap,
“Kemana lagi saya harus berguru, Eyang?
Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak.
“Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agama”
“Terimakasih Eyang guru”
Sang
prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini
merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia
berkata
“Saya mohon pamit, Raden”
“Silahkan, terimakasih, Eyang”
“Sampurasun”
“Rampes”.
**
Siang
itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang
Raja, disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu
yang kini dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus
ditambah dengan ilmu bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk
mencarinya, seketika sang prabu merasakan kekosongan, ternyata benar
kata pepatah, batang padi semakin berisi semakin merunduk, semakin
banyak ilmu seseorang, semakin merasakan kekurangan, semakin haus akan
ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti harus meninggalkan
Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk pemerintahan
saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi kebingunan itu
tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang mampu
memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun
turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman
sari, tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal.
“Saya haturkan sembah, Kang Jeng Ibu”
“Silahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu, Raden”
Prabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.
Dengan
lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke
Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana,
disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan
memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan
di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum
mendengar keluhan putranya,
“Bagi
seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya,
ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama
tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan
seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan
keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan
dilaksanakan oleh adikmu”
Wajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan :
“Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setia”
Prabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.
II
Seolah
berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai
Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati
berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi,
melalui padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni
lembah dan mendaki bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur
beralas daun kering berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah
ke Mataram ke tempat dimana Kyai Jiwa Raga bermukim.
Kyai
dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan tempat yang terbaik bagi
sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan maksudnya untuk
berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.
Keinginan
sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan
dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat
dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih
harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar
dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang
mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang
sangat tinggi.
Tak terasa sudah
empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan
berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran
yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian
terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari
Sumedang.
Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya:
“Raden,
apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari
islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang
lain”
Prabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata :
“Setiap
saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan
ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan
mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?.
“Pergilah
ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi
sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong
dalam perjalanan Raden” Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh
harap.
“Dengan senang hati Kyai”
“Seandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang kedua”
Prabu
Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia
harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini
terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi
ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak
tawaran itu,
“Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri kedua”
“Terimakasih Raden”
Tidak
berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya
dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita,
upacara sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga,
sekaligus menandai bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga
yang paling pandai, yang dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini
bertahan sampai sekarang, santri yang paling pandai dari sebuah
pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan (Kyai).
Keinginan
untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang prabu
berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura
mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih
banyak, Kyai pun memanjatkan do’a untuk keberangkatan menantu dan
putrinya yang disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu
Adilaya
III
Perjalanan
dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir
sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini
perjalanan lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah
menjadi enam orang dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang
perjalanan Prabu Adilaya dengan kedua istrinya selalu kelihatan ceria,
untuk membuang kejenuhan sepanjang perjalanan Prabu Adilaya selalu
bercerita yang disarikannya dari ceritera sempalan Tarich Islam,
tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama islam,
kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam
terutama kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum
beragama Islam, apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas
lelah, tetapi Prabu Adilaya selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang
diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai kedua istrinya tertidur pulas,
sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti, barulah ketika ayam
berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu merebahkan
tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu langit
cerah berbintang.
Banyak malam
telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan
kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam,
kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya
membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki
tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari
perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang
menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama
Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri
Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang
berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya
Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa:
“
Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah
melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya
merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama
atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja?”
Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali dia menjawab:
“Aceuk
pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan,
penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk
menikah sudah hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istri”
“Sungguhkan ?” Dewi Cahya Karembong terperanjat mendengarnya
“Benar Nyai, sejak menikah Aceuk belum merasakannya” kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiri
“Apakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan……………?”
“Tidak, Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati” Dewi Kondang Hapa menjawab dengan tegas.
Obrolan
kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi
dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang,
tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam
kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian,
padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka
juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak
pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan
yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung.
Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya :
“Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?”
“Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakan”
“Seandainya
Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu
akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi” berkata Dewi Cahya Karembong
sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh
dirinya sendiri.
“Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baru”
Dialog
kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas,
secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang
memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa
disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka
yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong
melakukan hal yang sama.
Malam
harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua
istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum
tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan
karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum,
beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka
masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan
diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang
hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu
Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar
sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan
nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu
Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah
dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna
menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang
Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu
dibunuh dinamakan CIBEUREUM ( beureum = merah)
Burung-burung
malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung,
pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa
seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan,
tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang
mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia
Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua
istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan
tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang.
Akhirnya
diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung
dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat,
sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran
tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka
bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi,
ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun
dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu
yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya
Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu
penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini
dinamakan SAMBONG, perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu
penggotong patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu
merasa bingung karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun
sudah diganti akhirnya Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong
yang baru dan melumuri kayu tersebut dengan tanah ternyata kayu
tersebut tidak lagi patah, tempat bekas melumuri penggotong dengan tanah
tersebut dinamakan MANGKUBUMI (= mengangkat tanah)
Karena
belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri
Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya
sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak
digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong
memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua
pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya
Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan
melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua
istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus
dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur
selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan
mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya.
Sebelum
matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah
selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan
tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata :
“Seandainya
Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya
banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik
kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang Prabu”
“Baiklah,
Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau
pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima
tobat kita” menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata.
Kedua
bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan
masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong
dan meninggal di sana.
IV
Semenjak
di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang seolah merasakan
sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi
meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu
dan tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan
Sumnedang tentu saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk
mengutus putra keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.
Singkat
cerita, sampailah di mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi
kea rah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana,
tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat
disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak
tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai
yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah
saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan
kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak
pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut,
Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang
dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini
tempat itu dinamakan SINGAPARNA (=singa yang luka parah)
Pangeran
Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk
dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota
kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai
kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang
terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang
disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan
untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.
Sesampainya
di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan
kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir
panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan
apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan
Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada,
bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan
berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir
rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan
dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.
Ternyata
cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa
ada sasuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk
Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah dikuburkan
prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati.
Tangispun
tak tertahankan, airmata berurai deras menetes ke tengah gundukan
tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur
di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air
rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada
di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk
menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya
ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun
yang meneduhi makam putranya.
Pada
saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi
danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si
Gendam, si Kohkol, si genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk
menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.
Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan dua orang penduduk setempat, beliau berpesan :
“
mugi aranjeun kersa titip anak kuring di pendem di eta nusa,
jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku ka prabonan di sumedang
mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen )
jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami
oge anu palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah
cukang lantaranana sugan ti dinya.”
Semoga
kalian bersedia untuk dititipi anak saya yang dimakamkan di pulau itu,
namanya Sembah Dalem Prabu Adilaya, yang memegang tampu ke prabuan di
Sumedang semoga kalian bersedia untuk memeliharanya, dan saya
memberitahukan kepada siapapun yang berselisih ingin beres, atau naik
pangkat juga ingin punya pekerjaan silahkan nyekar ke sana, agungnya
kepada Allah SWT semoga sareatnya dari sana”
Setelah itu beliau pulang ke Sumedang.
Stainless Steel Magnets - titanium arts
ReplyDeleteIroning the Stainless Steel Magnets (4-Pack). Made in Germany. The Titanium Arts https://tricktactoe.com/ Stainless Steel Magnets are herzamanindir an alloy made of titanium metal trim steel goyangfc.com in stainless steel worrione